Sebagai kampung wisata budaya, Kelurahan Baluwarti, Kecamatan Pasar Kliwon, Solo kaya dengan berbagai potensi seni budaya. Banyak hasil karya seni budaya tradisional diproduksi di Baluwarti.
Seperti pernah diungkap di sini, di RW VII ada berbagai macam karya seni keris, dari yang sederhana hingga paling rumit. Dari yang ratusan ribu rupiah hingga ratusan juta rupiah.
Demikian pula di RW II diproduksi berbagai macam alat musik tradisional rebab, juga aksesoris dan kerajinan daur ulang kertas koran. Sedangkan di RW III ada karya seni yang terbilang langka, yakni wayang beber. Adalah Joko Sri Yono, 59, seorang pengrajin.
Di RT 01/RW III, Joko yang asli warga Baluwarti ini tinggal bersama keluarganya, ditemani istri Sukarti dan dua anaknya. Di rumah sederhana ini Joko menekuni wayang beber. Tapi, Joko juga melakukan aktivitas lain untuk menyambung hidup sehari-hari. Ini karena membuat wayang beber belum dapat dijadikan andalan untuk mata pencaharian.
Ketika Espos ke kediamannya, awalnya ditunjukkan hasil karyanya berupa selembar kain yang dilukis gambar wayang menceritakan sebuah kisah. Joko kemudian menunjukkan tabung besar berisi puluhan gulungan film, yang merupakan lukisan dasar gambar wayang beber. Wayang beber juga ada pakemnya, yang dibuatnya dalam film itu. Bahkan, Joko juga membuat wayang beber di luar pakem, yang merupakan hasil kreasinya
Sesuai pakem, menurut Joko, jika wayang kulit ada kisah Mahabarata dan Ramayana yang berasal dari India. Untuk wayang beber justru kisah asli Indonesia, yakni dari Kerajaan Kediri, berupa cerita petualangan Panji Asmorobangun saat mencari Dewi Sekartaji.
Mahasiswa ISI Solo pernah ada yang melakukan penelitian untuk skripsinya, sampai ia datang ke daerah asal wayang beber kali pertama dibuat yakni Desa Kedompol, Pacitan, Jatim. Di sana wayang beber dilakonkan seperti wayang kulit dan ada dalangnya. Dalang yang ada sekarang generasi ke-13. Di berbagai daerah seperti Solo tak ada dalang wayang beber. Yang ada tukang sungging wayang beber seperti Joko.
Sejak kecil, Joko berpikiran, ”Dengan menekuni ini bisa untuk hari tuaku. Wayang beber harus terus diuri-uri, dan saya akan terus melakukannya.”
Sehingga meski penghasilannya tak seberapa, Joko terus menggeluti. Ditanya soal harga, Joko keberatan menyebutkan. Alasannya, hasil karya seperti ini tak ternilai harganya. Namun, akhirnya mengakui satu lembar wayang beber yang mengisahkan satu lakon, dihargai sekitar Rp 1 juta.
Dua pekan
Untuk menggambar sebuah karya, tiap lembarnya membutuhkan waktu dua pekan. ”Ini kalau full time. Kalau disambi ya bisa satu-dua bulan.”
Sejak kecil Joko sudah bergelut dengan dunia seni. Ayahnya pun orang keraton, driver khusus PB X. Dari segi penghasilan, Joko mengakui, dengan membuat wayang beber hasilnya tak seberapa, tapi kalau seni adiluhung ini ditinggalkan juga amat sayang. Maka, untuk menyambung hidup, Joko sempat bekerja di Batik Semar.
Joko berharap wayang beber dikenalkan sejak dini kepada anak-anak. Karena, anak perlu tahu berbagai macam wayang, seperti wayang suket yang digeluti Slamet Gundono, wayang kampung sebelah milik Ki Jlitheng Suparman, juga wayang beber yang mengedepankan seni lukis.
Lurah Baluwarti Tuti Orbawati R SSen MSn yang lulusan ISI Solo, mengaku bangga dengan warganya yang memiliki banyak potensi. Karenanya dia akan terus mengupayakan Baluwarti sebagai kampung wisata seni budaya
Tulisan: Solopos, Foto: Wiwik Susilo