Pengakuan Unesco terhadap batik ternyata mampu membuat permintaan stempel atau cap batik di Solo, Jawa Tengah, menjadi terus meningkat. Sayangnya, jumlah perajinnya, belakangan ini, terus berkurang, karena, tidak banyak generasi muda yang mau menekuni kerajinan ini.
Pagi baru saja beranjak. Namun, suasana di sebuah rumah di Premulung, Sondakan, Laweyan, Solo, Jawa Tengah, terlihat sudah riuh dengan suara alat-alat pemotong besi dan ketukan palu. Sejak Unesco mengakui batik sebagai warisan budaya Indonesia, permintaan batik Indonesia memang terus meningkat. Kondisi ini tentu saja turut mendongkrak kenaikan permintaan terhadap stempel atau cap batik, sebagai salah satu sarana membuat batik, selain membatik langsung dengan canting. Selama ini, cap batik digunakan para perajin untuk mempercepat proses produksi, sehingga, mereka bisa mengejar waktu untuk memenuhi banyaknya pesanan.
Sayangnya, para perajin batik sendiri, belakangan ini, sudah tidak mudah lagi untuk mencari perajin stamp (stempel) atau cap batik, karena, jumlahnya terus berkurang. Sehingga, tidak semua permintaan cap batik bisa dipenuhi oleh perajin.
Salah satu perajin stempel atau cap batik yang masih bertahan adalah Agus Sunarto di Sondakan, Laweyan, Solo ini. Agus mengaku, sudah menekuni kerajinan cap batik ini sejak tahun 2001, untuk meneruskan usaha keluarganya. Baginya, pembuatan stempel batik bukanlah hal yang sulit, karena, sejak kecil sudah diajari orangtuanya.
"Proses pembuatan cap batik diawali dengan membuat disain batik seperti diinginkan," kata Agus. Setelah itu, bahan pembuat stempel, yaitu plat tembaga, dipotong-potong sesuai ukuran dan bentuk motif yang sudah dibuat. "Selanjutnya, potongan-potongan tembaga itu, dibentuk sesuai motif yang diinginkan dan direkatkan menggunakan alumunium dengan dibakar," tambahnya. Setelah itu, cap batik pun dihaluskan, agar permukaannya rata.
Dalam sebulan, Agus mengaku, bisa membuat 5 hingga 7 cap batik, yang dijual dengan harga mulai dari ratusan hingga jutaan rupiah. Salah satu kendala yang terus dihadapinya saat ini adalah sulitnya mencari tenaga perajin, karena sudah tidak banyak generasi muda yang mau menekuni kerajinan ini. "Selain memerlukan kesabaran lebih, pendapatan dari sektor kerajinan ini juga dinilai sangat tidak memadai, sehingga, mereka lebih memilih berprofesi di bidang lain," papar Agus.
Selain di kota Solo, stempel atau cap batik karya Agus, juga banyak dipasarkan di Kota-kota lain, seperti Yogyakarta dan Pekalongan, Jawa Tengah, serta sejumlah kota lain di luar pulau Jawa.
Untuk bahan pembuatan cap batik, Agus biasanya menggunakan bahan-bahan bekas dari tukang rongsokan. Sayangnya, harga bahan-bahan bekas ini seringkali tidak stabil, sehingga, untuk menopang produksinya, ia terpaksa membeli bahan plat tembaga dari toko yang harganya jauh lebih mahal. "Di saat pemerintah gencar meningkatkan produk batik nasional, pasca pengakuan Unesco, sektor kerajinan cap batik sebagai pendukungnya, justru terlupakan," kata Agus.(*)