Sebuah kreasi wayang unik diciptakan seorang seniman di Solo, Jawa tengah, menyusul keprihatinan terkait makin tergusurnya tradisi wayang oleh budaya barat di kalangan anak-anak. Jika biasanya wayang dibuat dari kulit, seniman bernama Mayor Haristanto tersebut, membuat wayang dari kipas bamboo, atau disebutnya wayang tepas. Wayang ini dianggap lebih murah dan terjangkau, sehingga, bisa menjadi media belajar dan bermain anak-anak tentang dunia pewayangan.
Pembuatan wayang tepas ini tergolong sangat sederhana. Pertama-tama, dibuat pola gambar tokoh wayang yang diinginkan di atas sebuah kipas bamboo, yang biasanya dijual di pasaran dengan harga seribu rupiah. Setelah itu, dilakukan pengecatan atau pewarnaan dengan menggunakan cat sablon. Setelah kering, wayang tepas pun siap dimainkan. “Meski sederhana, wayang tepas ini ternyata sangat digemari anak-anak, karena, terkesan sangat menarik dan lucu,” tambah Mayor.
Tak hanya anak-anak, munculnya wayang tepas ini juga disambut gembira para perajin kipas bambu di wilayah tersebut, karena, dinilai bisa menaikkan harga jual produksinya. Dengan sedikit sentuhan artistik, kipas bambu yang biasanya hanya laku dijual seribu hingga duaribu rupiah per buah, saat ini, bisa naik menjadi lebih dari sepuluh kali lipat. Karena, tak hanya sebagian media bermain wayang, wayang tepas ternyata juga digemari sebagian kalangan sebagai hiasan dinding. (*)
Sore itu, sejumlah anak terlihat bermain kipas bambu di markas republik aeng-aeng, di jalan Kolonel Sugiyono, kawasan Nayu, Solo, Jawa Tengah. Namun, berbeda dengan yang biasa digunakan para tukang sate, kipas bambu yang dimainkan anak-anak tersebut terlihat bergambar sejumlah tokoh di dunia pewayangan, terutama, tokoh punakawan, seperti semar, gareng, petruk dan bagong.
Sejenak kemudian, merekapun berkumpul di sebuah panggung kecil yang sudah dipersiapkan. Salah seorang anak, bernama A
dyuta Banurasmi Balapradana atau Banu, yang masih berumur 8 tahun, pun duduk bersila di panggung tersebut, seperti layaknya seorang dalang.
Sejenak kemudian, merekapun berkumpul di sebuah panggung kecil yang sudah dipersiapkan. Salah seorang anak, bernama A
dyuta Banurasmi Balapradana atau Banu, yang masih berumur 8 tahun, pun duduk bersila di panggung tersebut, seperti layaknya seorang dalang.
Ya, Banu memang sedang berperan sebagai seorang dalang. Yaitu, dalang wayang tepas atau wayang yang dibuat dari kipas bambu. Sementara, teman-teman lainnya pun duduk di depan panggung sebagai penonton. Kegembiraan pun sejenak kemudian tercipta di ruangan tersebut.
Bagi Banu, yang selama ini memang senang mendalang, memainkan wayang tepas dianggapnya lebih enak dan mudah. Cerita yang dibawakan pun bukan cerita dari epos Mahabarata atau Ramayana, seperti biasa, namun, cerita-cerita ringan tentang kehidupan sehari-hari.
Wayang Tepas ini memang diciptakan oleh seniman solo, bernama Mayor Haristanto, sebagai jawaban atas keprihatinan terkait makin tergusurnya tradisi wayang oleh gempuran budaya barat di kalangan anak-anak. Karenanya, berbagai upaya pun dilakukannya untuk menciptakan mainan anak-anak yang tetap memegang akar tradisi budaya bangsa. Dalam perjalanannya, ia pun menggagas wayang tepas yang dianggap lebih murah dan terjangkau oleh anak-anak kebanyakan.
Mayor berpikir, jika harus menggunakan wayang kulit beneran, anak-anak tidak akan mampu menjangkaunya, karena, harganya sangat mahal. Karenanya,”perlu dibuat sebuah media yang lebih sederhana, agar anak-anak tetap bisa bermain wayang,” kata Mayor Haristanto.
Mayor berpikir, jika harus menggunakan wayang kulit beneran, anak-anak tidak akan mampu menjangkaunya, karena, harganya sangat mahal. Karenanya,”perlu dibuat sebuah media yang lebih sederhana, agar anak-anak tetap bisa bermain wayang,” kata Mayor Haristanto.
Pembuatan wayang tepas ini tergolong sangat sederhana. Pertama-tama, dibuat pola gambar tokoh wayang yang diinginkan di atas sebuah kipas bamboo, yang biasanya dijual di pasaran dengan harga seribu rupiah. Setelah itu, dilakukan pengecatan atau pewarnaan dengan menggunakan cat sablon. Setelah kering, wayang tepas pun siap dimainkan. “Meski sederhana, wayang tepas ini ternyata sangat digemari anak-anak, karena, terkesan sangat menarik dan lucu,” tambah Mayor.
Tak hanya anak-anak, munculnya wayang tepas ini juga disambut gembira para perajin kipas bambu di wilayah tersebut, karena, dinilai bisa menaikkan harga jual produksinya. Dengan sedikit sentuhan artistik, kipas bambu yang biasanya hanya laku dijual seribu hingga duaribu rupiah per buah, saat ini, bisa naik menjadi lebih dari sepuluh kali lipat. Karena, tak hanya sebagian media bermain wayang, wayang tepas ternyata juga digemari sebagian kalangan sebagai hiasan dinding. (*)