Meski sudah berkembang di Sleman, DIY, sejak puluhan tahun lalu, kesenian drama tradisional Jabarwes ternyata tidak banyak diketahui masyarakat umum, termasuk warga setempat. Seiring perkembangan jaman, belakangan ini, kesenian tradisional tersebut memang sudah jarang dimainkan, sehingga, makin terpinggirkan dan hampir punah.
Kesenian drama tradisional Jabarwes ini sebenarnya sudah berkembang di Sleman, DIY, sejak puluhan tahun lalu. Bahkan, diperkirakan sudah ada sejak jaman Mataram Islam.
Dari penampilannya, Jabarwes terlihat sangat berbeda dengan kethoprak maupun wayang orang, karena, kesenian ini tak hanya menggabungkan dua unsur kesenian tersebut namun juga kesenian lain, yaitu wayang golek. Atau dengan kata lain, jabarwes merupakan pentas wayang golek, namun, dimainkan oleh manusia. “Karenanya, gerakan-gerakan tari para pemain pun dibuat tidak luwes, namun, menyerupai gerakan wayang golek dari kayu, yang sangat kaku”, kata Sukamto, salah seorang pemain Jabarwes.
Berbeda dengan drama tradisional lain, seperti kethoprak dan wayang orang, jabarwes mengangkat cerita yang diambil dari buku Serat Menak, dengan tokoh-tokoh yang populer seperti Umar Moyo, Jayengrono, Putri Rengganis, Prabu Roro dan sebagainya. Drama ini sebenarnya sangat kental unsur-unsur islam, karena, bersumber pada cerita dari penyebaran islam di persia. Karena mengadaptasi pentas wayang golek, dalam jabar wes, juga terdapat dalang dan gunungan, sebagai penghubung cerita.
Meski sudah puluhan tahun ada, kesenian ini ternyata tidak banyak diketahui masyarakat, termasuk warga sleman sendiri. Belakangan, kesenian tradisional tersebut memang sudah jarang dimainkan, karena, tidak lagi diminati masyarakat. “Seiring perkembangan jaman, keberadaan kesenian ini sudah kalah dengan kesenian genre baru lain, seperti campur sari, organ tunggal dan sebagainya,” tambah Kamto.
Tak ayal, selain jarang pentas, para seniman jabarwes mengaku, kesulitan untuk melakukan regenerasi pemain, karena, tidak ada lagi generasi muda yang berminat dengan kesenian ini. karenanya, tak bisa dipungkiri, jika kebanyakan pemain jabarwes berasal dari kalangan generasi tua.
Mereka khawatir, jika tidak segera mendapat perhatian dari pemerintah, kesenian tradisional ini akan makin terpinggirkan dan punah. Nah, jika hal itu terjadi, kita akan kehilangan satu lagi karya tradisi adiluhung bangsa indonesia, setelah hilangnya sejumlah kesenian tradisional lain di tanah air. (*)
Meski sudah puluhan tahun ada, kesenian ini ternyata tidak banyak diketahui masyarakat, termasuk warga sleman sendiri. Belakangan, kesenian tradisional tersebut memang sudah jarang dimainkan, karena, tidak lagi diminati masyarakat. “Seiring perkembangan jaman, keberadaan kesenian ini sudah kalah dengan kesenian genre baru lain, seperti campur sari, organ tunggal dan sebagainya,” tambah Kamto.
Tak ayal, selain jarang pentas, para seniman jabarwes mengaku, kesulitan untuk melakukan regenerasi pemain, karena, tidak ada lagi generasi muda yang berminat dengan kesenian ini. karenanya, tak bisa dipungkiri, jika kebanyakan pemain jabarwes berasal dari kalangan generasi tua.
Mereka khawatir, jika tidak segera mendapat perhatian dari pemerintah, kesenian tradisional ini akan makin terpinggirkan dan punah. Nah, jika hal itu terjadi, kita akan kehilangan satu lagi karya tradisi adiluhung bangsa indonesia, setelah hilangnya sejumlah kesenian tradisional lain di tanah air. (*)