Kirab budaya dengan mengusung pusaka Kyai Turunsih ini diawali dari pendopo Parasamya, dengan diikuti oleh lima bergada prajurit. Kyai Turunsih Tangguh Ngayogyakarto ini merupakan pusaka pemberian raja kraton Ngayogyakarto Hadiningrat, Sri Sultan Hamengkubuwono X, pada tahun 1999 lalu.
Dipilihnya pusaka ini untuk pemerintah kabupaten Sleman tentu saja bukan tanpa alasan. Tombak ini memiliki pangkal atau dapur yang disebut cekel beluluk Ngayogyakarto dan pamor beras wutah wengkon. Pamor ini dianggap menggambarkan keberadaan kabupaten Sleman selama ini di propinsi DIY. Yaitu, sebagai gudnag berasnya Daerah Istimewa Yogyakarta. Selama ini, sebagian besar kebutuhan beras di DIY memang dipasok dari wilayah tersebut.
Ribuan orang terlihat memadati sepanjang rute kirab, karena ingin menyaksikan pusaka sepanjang 270 cm dan pangkal sepanjang 49 cm ini dari dekat. Bahkan, hujan deras yang sesekali mengguyur pun tak mampu membuat mereka beranjak dari lokasi arak-arakan.
Setelah diarak, pusaka tombak kyai Turunsih selanjutnya dibawa ke lapangan Denggung untuk dilakukan penghormatan dalam sebuah upacara bernuansa Jawa. Upacara dipimpin langsung gubernur DIY yang juga raja Kraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X. Dalam sambutan berbahasa Jawa, Sultan HB X berharap agar masyarakat Sleman yang baru saja terkena bencana letusan Merapi bisa segera bangkit dan kembali bekerja.
Menurut Sultan HB X, tombak Kyai Turunsih mengisyaratkan laku ambeg paramatra, yang dijiwai rasa kasih sayang dan tolong menolong. Isyarat ini menjadi simbol bahwa tolong menolong dan gotong royong bisa menjadi sarana untuk bangkit dari bencana, seperti telah ditunjukkan warga setempat beberapa waktu lalu. (*)