Tari Cahya Nirakila, diciptakan oleh seorang seniman bernama Eko Ferianto, ini diawali dengan adegan berisi kegiatan dan aktivitas sehari-hari warga di lereng Merapi. Seperti berkebun, bertani, menambang pasir dan sebagainya. Tak hanya orang dewasa, dalam tarian ini juga digambarkan keceriaan anak-anak dalam menikmati keseharian di lereng Merapi. Seperti, bermain, bersendau gurau dengan teman dan sebagainya. Adegan awal ini dengan jelas menggambarkan keharmonisan warga Merapi dengan sesamanya dan alam sekitar, meski gunung tersebut dikenal sebagai gunung berapi paling aktif di dunia.
Namun, keharmonisan ini menjadi terusik, saat terjadi goncangan gempa bumi yang mengawali letusan Merapi. Kondisi ini membuat warga menjadi panik dan pontang-panting untuk menyelamatkan diri. Tak ayal, jeritan dan tangis pun terus terdengar.
Kepanikan warga menjadi bertambah, saat gunung Merapi mulai meletus dan menyemburkan awan panas serta lahar. Dalam tari ini, letusan Merapi digambarkan dengan munculnya sebuah raksasa berwajah seram dan tampak marah. Akibatnya, korban jiwa pun berjatuhan. Harta benda pun melayang.
Dalam penampilan pertamanya di Lapangan Denggung, Sleman, minggu petang (15/5), menurut Eko, tari ini dibawakan oleh sekitar 80 penari dari sejumlah sanggar dan sekolah di Sleman. "Kami mulai latihan bulan April lalu," tambahnya. Diharapkan, tari ini bisa memberikan inspirasi bagi warga lereng Merapi agar senantiasa siap dan waspada, karena, mereka memang berada di wilayah rawan bencana. Selain menimbulkan decak kagum, penampilan tari ini juga sempat menimbulkan keharuan sebagian penonton yang menyaksikannya. (*)